IZI

Sumber-sumber Sirah Nabawiyah

Muhammad-Said-Ramadhan-Al-Buthi

Secara umum dapat disebutkan di sini bahwa sumber dan rujukan sirah nabawiyah ada tiga: Kitab Allah, Sunnah Nabawiyah yang sahih, dan kitab-kitab sirah.

Pertama: Kitabullah (Al Quran)

Kitab Allah merupakan rujukan pertama untuk memahami sifat-sifat umum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengenal tahapan-tahapan umum sirahnya yang mulia ini. Ia mengemukakan Sirah Nabawiyah dengan menggunakan salah satu dari dua uslub berikut.

Pertama, mengemukakan sebagian kejadian dari kehidupan dan sirah­nya, sepert ayat-ayat yang menjelaskan tentang Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan Hunain, serta ayat-ayat yang mengisahkan perkawinan dengan Zainab binti Jahsyi.

Kedua, mengomentari kasus-kasus dan peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk menjawab masalah-masalah yang timbul, mengungkapkan masalah yang belum jelas, atau untuk menarik perhatian kaum muslimin kepada pelajaran dan nasihat yang terkandung di dalamnya. Semua itu berkaitan dengan salah satu aspek dari sirahnya atau permasalahannya. Dengan demikian, hal itu telah menjelaskan banyak hal dari berbagai periode kehidupannya dan beragam urusan serta aktivitasnya.

Akan tetapi, pembicaraan Al Quran tentang semua itu hanya disampaikan secara terputus-putus. Betapapun beragamnya uslub Al Quran dalam menjelaskan segi sirahnya, hal itu tidak lebih dari sekadar penjelasan secara umum dan penyajian secara global dan sekilas tentang beberapa peristiwa dan berita. Demikianlah cara Al Quran dalam menyajikan setiap kisah tentang para nabi dan umat-umat terdahulu.

Kedua: Sunnah Nabawiyah yang Shahih

Yakni apa yang terkandung di dalam kitab-kitab para imam hadits yang terkenal jujur dan amanah, seperti kitab-kitab yang enam, Muwatha’ Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad. Sumber kedua ini lebih luas dan lebih rinci, hanya saja belum tersusun secara urut dan sistematis dalam memberikan gambaran kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak lahir hingga wafat. Hal ini disebabkan oleh dua hal.

Pertama, sebagian besar kitab-kitab ini disusun hadits-haditsnya berdasarkan bab-bab fiqih atau sesuai dengan satuan pembahasan yang beraitan dengan syariat Islam. Karena itu, hadits-hadits yang berkaitan dengan sirahnya yang menjelaskan bagian dari kehidupannya terdapat pada berbagai tempat di antara semua bab yang ada.

Kedua, para imam hadits, khususnya penghimpun Al Kutub As Sittah, ketika menghimpun hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencatat riwayat sirahnya secara terpisah, tetapi hanya mencatat dalil-dalil syariah secara umum yang diperlukan.

Di antara keistimewaan sumber kedua ini ialah bahwa sebagian besar isinya diriwayatkan dengan sanad sahih yang bersambung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kepada para sahabat yang merupakan sumber khabar manqul, kendatipun Anda temukan beberapa riwayat dha’if yang tidak bisa dijadikan hujjah.

Ketiga: Kitab-kitab Sirah

Kajian-kajian sirah di masa lalu diambil dari riwayat-riwayat pada masa sahabat yang disampaikan secara turun-temurun tanpa ada yang memperhatikan untuk menyusun atau menghimpunnya dalam suatu kitab, kendatipun sudah ada beberapa orang yang memperhatikan secara khusus sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan rincian-rinciannya.

Barulah pada generasi tabi’in, sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diterima dengan penuh perhatian. Banyak di antara mereka yang mulai menyusun data tentang sirah Nabawiyah yang didapatkan dari lembaran-lembaran kertas. Di antara mereka ialah Urwah bin Zubair yang meninggal pada tahun 92 Hijriah, Aban bin Utsman (105 H), Syurahbil bin Sa’ad (123 H), Wahab bin Munabbih (110 H), dan Ibnu Syihab Az Zuhri (124 H).

Akan tetapi, semua yang pernah mereka tulis ini sudah lenyap, tidak ada yang tersisa kecuali beberapa bagian yang sempat diriwayatkan oleh Imam Ath Thabari. Ada yang mengatakan bahwa sebagian tulisan Wahab bin Munabbih sampai sekarang masih tersimpan di Heidelberg, Jerman.

Setelah itu, muncul generasi penyusun sirah berikutnya. Tokoh generasi ini ialah Muhammad bins Ishaq (152 H). Selanjutnya disusul oleh generasi sesudahnya dengan tokoh Al Waqidi (203 H) dan Muhammad bis Sa’ad, penyusun kitab Ath Thabawat Al Kubra (130 H).

Para ulama sepakat bahwa apa yang ditulis Muhammad bin Ishaq merupakan data paling terpercaya tentang sirah Nabawiyah (pada masa itu).1 Akan tetapi, sangat disayangkan, kitabnya, Al Maghazi, termasuk kitab yang musnah pada masa itu.

Akan tetapi, alhamdulillah, sesudah Muhammad bin Ishaq muncul Abu Muhammad Abdul Malik yang terkenal dengan Ibnu Hisyam. Ia meriwayatkan sirah tersebut dengan berbagai penyempurnaan, setengah abad sesudah penyusunan kitab Ibnu Ishaq tersebut.

Kitab Sirah Nabawiyah yang dinisbatkan kepada Ibnu Hisyam yang ada sekarang ini hanya merupakan duplikat dari Maghazi-nya Ibnu Ishaq.

Ibnu Khalikan berkata, “Ibnu Hisyam adalah orang yang menghimpun sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Al Maghazi dan As Siar karangan Ibnu Ishaq. Ia telah menyempurnakan dan meringkasnya. Kitab inilah yang ada sekarang dan yang terkenal dengan Sirah Ibnu Hisyam.2

Selanjutnya, lahirlah kitab-kitab sirah Nabawiyah. Sebagiannya menyajikan secara menyeluruh, tetapi ada pula yang memperhatikan segi-segi tertentu, seperti Al Asfahani di dalam kitabnya Dala’il An Nubuwwah, Tirmidzi di dalam kitabnya Asy Syama’il, dan Ibnu Qayyim Al Jauziah di dalam kitabnya Zaadul Ma’ad.

Catatan kaki:

1) Lihat tulisan Ibnu Sayyid An Nas di dalam muqaddimah kitabnya ‘Uyun Al Atsar fi Tatsiq Ibnu Ishaq wad Difa ‘Anhu.

2) Wafayat Al A’yan, 1/29, terbitan Maimanah.

Share this:

Post a Comment

 
Copyright © Warta Dakwah | Media Pencerah Umat. Designed by OddThemes