Wartadakwah.net - PENGANIAYAAN terhadap Faisal Salim, seorang jamaah Majelis az-Zikra,
oleh gerombolan pendukung Syiah pada Rabu lalu (11/2/2015) manambah
bukti lagi bahwa Syiah mengganggu stabilitas keamanan. Di antara
penyerang itu meneriakkan “Labbaik Ya Husein”. Kabarnya mereka ini tidak terima dengan spanduk Majelis az-Zikra yang isinya bahwa Syiah aliran sesat.
Lagi-lagi, kita kembali harus mencermati gerakan Syiah ini dari sudut
pandang kemanan negara Indonesia. Pada 24 Desember tahun 1984 silam,
seorang aktivis Syiah bernama Jawad alias Ibrahim terlibat aksi
peledakan gedung seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang dan peledakan
Candi Borobudur pada 21 Januari 1985.
Dalam pengakuannya, ia nekat melakukannya karena cita-citanya ingin
menjadi ‘Imam’ di Indonesia, sebagaimana Khomeini di Iran. Namun Jawad
gagal, dan konon kabarnya ia lari ke Syiria.
Pemerintah Indonesia sepatutnya melihat dakwah Syiah sebagai ancaman
serius. Pengamalan akidah Syiah yang diekspresikan dengan mencaci
Sahabat Nabi jelas saja merupakan cara beragama yang tidak beradab. Umat
Ahlussunnah yang mencintai Sahabat sebagai bagian ajarannya tidak
terima dilecehkan begitu. Jika tidak dikontrol, konflik sosial akan
meluas.
Namun, ancaman politik justru lebih serius. Berdasarkan ‘fatwa’
Ayatullah Khomeini, sistem politik yang tidak sesuai dengan sistema
politik imamah Syiah bisa digulingkan. Dalam sebuah bukunya ia menulis:
“Kenyataannya tak ada pilihan selain menghancurkan sistem pemerintahan
yang rusak (dan juga merusak). Dan menghapus pemerintahan yang penuh
dengan pengkhianatan, kerusakan dan kezaliman. Ini adalah kewajiban yang
harus dipenuhi oleh setiap Muslim yang ada di negara Islam sehingga
dapat tercapailah keyaan Revolusi Politik Islam”(Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, hal. 46).
Tulisan tersebut hasutan dan komando melakukan revolusi. Karakter
dakwah yang ambisius, menyalahkan golongan lain, serta militan bisa jadi
didorong oleh ‘fatwa’ tersebut. Bagi Khomaini, Islam yang ideal dan
sempurna adalah Islam yang terapkan pemerintahan Islam di bawah kendali
Khalifah keturunan ahlul bait atau al-faqih sebagai tim transisi ketika
ada kekosongan khalifah. Karena itu, ia mencela keras Daulah Umayyah dan
Abbasiyah bahkan berdoa agar Allah melaknat pemerintahan tersebut.
(Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, hal. 45).
Bahaya Syi’ah akan lebih tampak pada pidato Imam Khomeini pada tahun
1981 saat menggelar Konferensi Internasional untuk Imam Jum’at dan
Jama’ah dengan mengundang pemimpin-pemimpin di dunia. Berikut salah satu
penggalan dari pidato tersebut,
“Berangkatlah dari muktamar ini untuk mengadakan revolusi Iran di
Negara-negara masing-masing, agar anda semuanya dapat menang dalam usaha
yang besar ini. Kalau anda bermalas-malas, maka pada hari kiamat nanti
di hari semua manusia dikumpulkan, Allah akan meminta pertanggungjawaban
dari masing-masing Anda karena tidak melakukan sesuatu tentang hak
Allah dan hak bangsa-bangsa Anda.” (Muhammad Abdul Qodir Azad, Bahaya Faham Syiah Khomeini, hal.14).
Jika ambisi politik seperti itu dipraktikkan di NKRI, jelasnya
pemerintah harus mengambil kebijakan yang tegas. Perseteruan Ahlussunnah
dan Syiah sudah berlangsung ribuan tahun lalu. Penyebab utamanya
sebetulnya berkisar pada; karakter Syiah yang belum melunturkan
sendi-sendi politik imamah sebagai akidahnya, ambisi untuk mensyiahkan
kaum Sunni dan ekspresi mencaci Sahabat Nabi Saw.
Kita tentunya berharap negeri ini dalam keadaan stabil dan aman. Para
pemimpin, tokoh dan pemerintah Indonesia mestinya tidak memandang enteng persoalan ini. Mereka harus terus mencari solusi yang tepat untuk menciptakan kedamaian.
Oleh: Kholili Hasib
Sumber: Islampos
Post a Comment